Get Overwhelmed by Social Media
Hai hai! Kali ini, sesuai judulnya disini kami akan sedikit membagikan cerita dan pendapat mengenai salah satu keadaan yang sedang relate dengan kami dan beberapa orang diluar sana, yaitu tentang bagaimana pengaruh keberadaan media sosial dan penggunaan yang berlebihan terharap diri kita.
Selamat membacaš§”
#CeritaSafira
Media sosial dan kaum muda. Mesra banget ya hubunganya, sampai kita rasa-rasanya tidak ingin ketinggalan dengan apa yang terjadi didalamnya. Dan aku sadar juga kok, ironisnya aku menulis tentang media sosial di media sosial juga. Kadang juga berpikir, sebenarnya media sosial ini makin mendekatkan kita atau malah makin menjauhkan kita? But not gonna lie, I love social media. Aku bersyukur hidup di zaman dengan teknologi-teknologi yang canggih dan berkembang pesat seperti sekarang. Media sosial telah mempermudah manusia untuk melihat apa saja yang sebenarnya terjadi di seluruh dunia, telah menciptakan komunitas-komunitas beragam dan juga memunculkan banyak inovasi dan kolaborasi dari berbagai macam latar belakang manusia. Seperti teman-teman jomopedia ini, kami murni bertemu dan semakin dekat, terima kasih kepada media sosial.
Seperti kebanyakan hal, ada yang baik dan ada yang buruk. Media sosial pun juga begitu, dia membuat kita ketagihan untuk setiap saat memegang handphone kita, menambah tekanan pada hidup kita sampai ada yang bertengkar dan membentuk kubu diantara orang, pemerintah dan negara. Artikel yang ditulis oleh Karol Markowicz dari New York Post, menyebutkan kalau survei yang dipublikasikan oleh Origin menemukan bahwa setengah dari kaum muda dengan batas umur 18 sampai 24 tahun have had enough of social media, dengan 34 persen diantaranya mengatakan kalau mereka telah menghapus beberapa akun sosial media mereka. Being online has become less fun, tetapi banyak dari kita pun yang tidak bisa lepas dari meneruskan kebiasaan kita untuk melihat apa yang terjadi di beranda Twitter, instastory di Instagram atau bahkan fitur status di Whatsapp. Seperti takut akan kehilangan sesuatu, kurang update, dan ketinggalan zaman.
Jadi bagaimana sih cara kita untuk mengurangi adanya social media addiction? Tenang, bukan berarti kita harus benar-benar menjauhkan diri dari media sosial completely, hanya kita harusnya sadar adanya batasan-batasan bagaimana cara kita menggunakan media sosial dan juga untuk menyeimbangkan dunia nyata kita. Apalagi ditengah pandemi, why don’t we try distance ourselves from social media for a while during this? Kita punya loh banyak aktifitas-aktifitas yang bisa kita asah, tanpa menghilangkan sedikit interaksi kita di media sosial. Aku mengambil beberapa saran dari artikel yang ditulis oleh Dr. Kerry Petsinger dari situs Lifehack :
- Nikmati Ketenangan, Punya me time atau going offline secara teratur adalah cara terbaik mengurangi stres atau overwhelmed by social media ini. Luangkan beberapa saat untuk menutup mata dan istirahat. Kalian bisa melakukan meditasi, yoga atau bahkan meluangkan waktu untuk menulis jurnal.
- It’s Time to be You Again, Pas kalian melakukan istirahat dari media sosial ini, kalian tentunya tidak akan di hadapkan dengan kehidupan dan pendapat orang lain. Waktu dan pikiran kalian akan bebas saat melakukan aktifitas-aktifitas offline. Waktu tinggal dirumah seperti sekarang merupakan kesempatan buat kalian untuk menemukan “kalian”, going offline membantu banget buat kalian kembali fokus ke apa yang sebenarnya penting bagi kalian.
Gunakan waktu yang ada sementara ini untuk self healing, self improvement, dan sebagainya. Mungkin juga saat-saat ini kalian bisa menemukan skill baru yang kalian bisa dan miliki dan ga nyangka kalau kalian bisa ngelakuinnya. Selain itu, coba kalian talk to someone you trust. Teman, orang tua, adik atau kakak. Coba lebih terbuka ke mereka, cerita apapun yang kalian rasakan, random thoughts ataupun sekedar bertukar pikiran. Tenangkan badan dan pikiran, slow yourself just a little bit and there’s nothing wrong with it, it’s okay to be team #goodvibesonly 24/7 di keadaan seperti ini.
#CeritaNisa
Talking about addicted to social media, pernah ga diantara kalian merasa udah jenuh banget sama yang namanya media sosial? Kalo pernah, berarti kita sama. Dan pernah coba ga untuk “puasa” bersosial media for a while? Kalo pernah, gimana rasanya? Worth it ga kira-kira? Coba kita pikir kembali kegiatan sehari-hari kita. Lagi ngantre di kasir, nunggu jemputan, atau lagi ga ngapa-ngapain, biasanya banyak dari kita memilih untuk sekedar scrolling Instagram, Twitter ataupun ngecek Whatsapp. Dan disana kita ngeliat banyaknya postingan yang orang lain bagikan. Diantaranya memposting hari bahagianya lagi berkumpul dengan teman lamanya, ada juga yang membagikan kesedihannya tentang keluarga yang tidak harmonis, atau juga ada yang membagikan kemesraan dengan pasangannya. Niat awal kita yang cuma iseng sekedar scrolling Instagram buat ngisi waktu luang nungguin antrean malah bisa membuat emosi kita ikut terbawa. Sebagai contoh, melihat instastory di Instagram merupakan suatu hal yang tidak bisa dilewatkan bagi sebagian orang. Setiap waktu bahkan dihabiskan hanya untuk scrolling unggahan terbaru demi tidak dikatakan sebagai seseorang yang “tertinggal”.
Hal tersebut sudah bisa dikatakan sebagai ketergantungan media sosial seperti yang dikatakan World Health Organization:
“Orang yang menggunakan media sosial memiliki gejala kecanduan perilaku, dari konflik, dan modifikasi suasana hati ketika mencoba memeriksa profil online secara teratur. Seringkali orang merasa perlu untuk terlibat dengan perangkat digital bahkan jika itu tidak pantas atau berbahaya bagi mereka untuk melakukannya. Jika terputus atau tidak dapat berinteraksi seperti yang diinginkan, mereka akan menjadi sibuk dengan peluang yang hilang untuk terlibat dengan jejaring sosial mereka.”
Ada satu istilah that I would like to convey you, guys. Pernahkah kalian menemukan istilah oversharing? Jadi, oversharing itu terlalu banyak membagi kehidupan pribadi di media sosial dengan tujuan untuk memamerkan aktifitas harian atau hanya iseng saja. Tentu saja ini bukanlah suatu hal yang baik. Karena oversharing disebut sebagai salah satu tanda kecanduan media sosial. Ada satu istilah lagi, yaitu FOMO yang merupakan kepanjangan dari Fear Of Missing Out, istilah ini memiliki makna sesuatu hal yang dialami oleh seseorang yang tidak ingin “ketinggalan” terhadap sesuatu yang viral di media sosial. Dan hal ini dapat menimbulkan pikiran-pikiran negatif dalam diri seperti terlalu memandang rendah diri sendiri, merasa kekurangan, dan pikiran-pikiran insecure lainnya. Tanpa sadar semua pikiran negatif itu seakan menjadikannya sebagai pembanding antara hidup kita dengan hidup mereka. Akan ada kalanya seseorang berada di titik dimana ia sangat muak dan jenuh terhadap apa yang ada di media sosial. Hal tersebut membentuk suatu niat bahkan tekad kuat untuk meninggalkan media sosial untuk sementara waktu. Pernah ngerasain ga? Lalu, apa? Disitulah semestinya kita memerlukan self-healing terhadap diri. Kembali fokus dengan pekerjaan, lebih menghargai waktu, menggali potensi diri, dan lakukan hal positif apapun itu yang dapat mengalihkan diri dari kepenatan hidup di dunia maya. Kita memang tidak dapat meninggalkan total media sosial, tetapi kita hanya perlu rehat sejenak, lalu belajar kembali bahwa tidak semua hal yang ada di dunia maya itu baik, dan bisa diambil. Karena kita berhak menjadikan kehidupan offline layak untuk dijalankan. Okay, I think that’s all from me. It’s time for leaving social media for a while.
#CeritaRama
Butuh waktu lama untuk menerima bahwa tidak ada lagi kalimat “saat pandemi korona berlalu, aku ingin…” atau “aku akan melakukan itu saat pandemik ini berakhir, jadi sekarang santai-santai dulu aja”. dan sembari menunggu, berakhirlah dengan menghabiskan waktu dengan layar yang berkilau ini. Menunggu untuk semua nya menjadi normal seperti dulu lagi lebih menyedihkan dari menyaksikan keadaan yang tidak normal ini. Tersadar bahwa mungkin keadaan ini akan menjadi suatu yang normal kedepannya. Jadi, satu kata yang tepat untuk mengatasi kebingungan ini adalah ADAPTASI. Iya, aku baru menerima bahwa aku harus beradaptasi alih-alih menunggu. Tidak mudah tentunya karna ini serasa sangat tidak normal.
Perubahan yang sangat terasa adalah saat mendapati diriku semakin banyak bersosial media. Mengakses banyak hal secara online, karena banyak yang sudah tidak dapat dilakukan. Sampai suatu hari rasa kewalahan itu datang. Aku merasa ada yang hilang. aku merasa sudah sangat Lelah bahkan sampai ingin mencampakkan ponsel yang sangat pintar ini, karna aku selalu menyentuhnya seolah itu adalah hal yang paling penting dihidupku. Kenyataan bahwa aku mengecek smartphone lebih sering membuatku merasa seperti orang gila. Aku memang tipe orang yang mudah merasa kewalahan dengan sosial media, sudah sejak lama. Namun kali ini berbeda. Ini seperti aku ingin melepaskannya tapi dia tidak mau lepas. Cara-cara lama sudah tidak ampuh lagi. Karna dulu bisa aja aku hanya menyimpan hp ku lalu bercengkerama dengan teman-temanku. Namun sekarang berbeda.
Yang terjadi adalah aku menyimpan hp ku, lalu aku berdiri, kemudian berjalan entah kemana, lalu duduk, lalu berdiri lagi, dan kebingungan apa yang harus kulakukan. Dan aku jalan lagi dan mengambil hp yang sudah tersimpan selama 3 menit atau mungkin kurang. Sungguh menyedihkan. Kenapa bisa gitu? Karna ini situasi yang baru dan aku masih tidak siap dihadapkan dengan semua yang serba online yang menuntut aku buat banyak mengecek hp. Dan juga aku ga punya “intention” yang kuat untuk melepaskan ini semua. Bukan melepaskan sih tapi lebih ke menggunakan secara wajar versi ku.
Sampai akhirnya aku bertekat untuk mengevaluasi semua kegiatanku selama 1 hari agar aku bisa tau berapa lama aku menggunakan smartphone ku. Karna aku sadar bahwa aku sedang “tracking” diriku, maka aku berusaha untuk gak bengong atau sekedar main hp. aku coba ngapain aja pokoknya ga main hp. Ngerjain apa aja sambil dihitung waktunya. Akhirnya 24 jam pun berlalu dan aku menemukan banyak hal yang jadi evaluasi. Aku menyadari bahwa dengan fokus hanya 1 jam untuk yang kita kerjakan bisa menghasilkan banyak hal seolah kita udah melakukannya selama seharian. Aku merasa sangat produktif dan setelah menghitung waktu total nya, tidak memakan waktu begitu lama untuk menyiram tanaman, memasak makan malam, membereskan baju, dan menulis jurnal harian. Lalu beristirahat dan mengecek social media tanpa tekanan atau perasaan bersalah.
Untuk keadaan seperti sekarang ini, hampir semua kegiatan, komunikasi dan interaksi, dilakukan dengan social media, lantas bukan berarti kita jadi hidup di dunia itu. kita masih punya dunia yang lebih nyata yang kita saksikan sekarang dan butuh perhatian lebih dari kita. Sudah saatnya kita aware dengan berapa banyak kita mengonsumsi konten sosial media perharinya, berapa banyak waktu kita terpakai untuk itu. seharusnya sosial media dapat digunakan sebagai pendukung dunia nyata kita, jangan kebalik.
Aku yakin bukan hanya aku yang merasakan begitu kewalahan dan bosan dengan sosial media ini. Aku juga masih belajar. Aku berusaha mengingatkan diriku dengan kata-kata “berapa banyak lagi kau mau membuang waktumu?” karna sedih aja gitu, pas ulang tahun berdoa supaya dikasih umur panjang dan orang-orang juga memberikan doa yang sama, tapi pas udah dikasi waktu lagi setiap harinya, malah dibuang-buang, yaampun seketika merasa sedih pas menyadari itu. I'm afraid to ask for again because I'm not even responsible for it. Jadi aku hanya berusaha melakukan yang terbaik setiap harinya dengan situasi ini. Please note that I'm still learning and not perfect.
Jadi beberapa poin yang bisa jadi resume:
- If you feel overwhelmed by social media or have a “screen time addiction”, you are not alone, me too have the same issue.
- In this current situation, we should found another way to live our life even we can’t meet up with our friend to overcome anything like it used to be.
- One thing that you should have before doing anything is intention.
- Try to track your day with just leave your smartphone and do anything. How long do you use your smartphone? Are you productive enough in one day? Just list what you have done.
- Be responsible for what you ask for if it given to you. Cause if you realize it for too long, it will feel even sadder.
Bagaimana menurut kalian? Sepertinya memang going offline itu sangat penting dan sangat menyenangkan seperti jaman sebelum terpapar dengan kecanggihan teknologi seperti ini. Sebaiknya kita selalu aware dengan isu ini karena memang masih banyak hal menarik di dunia nyata yang butuh perhatian kita yang dapat memenuhi kebahagiaan kita. Cause we also need a slow living. Jadi, semoga teman-teman mendapatkan sesuatu dari cerita kita ya.
Written by: Rama, Safira, Nisa
Picture by: Toa Heftiba, Christian Battaglia and Thought Cataglog/Unsplash
Edited by: Rama
Suka sama artikelnya. Tampilannya nyaman, tidak over.
ReplyDeleteKemudian tidak ada iklannya
Dan
Tentunya...
Berfaedah.
Terima kasih....
Terimakasih yaa ;)))
DeleteSeperti biasa, always menarik untuk dibaca
ReplyDeleteThankyouuuuu
DeleteThanks! Sangat bermanfaat.
ReplyDeletesama-sama ;))
Delete